LOMBOK TENGAH – Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) menggelar sidang paripurna dengan agenda penyampaian penjelasan DPRD terhadap dua buah renperda usul DPRD yakni, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, serta perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Kegiatan itu dipimpin langsung Ketua DPRD, M. Tauhid dan dihadiri Bupati, HL. Pathul Bahri, anggota DPRD, serta unsur forkopimda, Senin (10/06/2024).
Juru Bicara (jubir) DPRD, Lalu Ramdan menyampaikan, salah satu wujud dari pelaksanaan fungsi DPRD di bidang pembentukan peraturan daerah adalah diwujudkan melalui kegiatan penyusunan program pembentukan perda bersama kepala daerah. Pembahasan tersebut menyetujui atau tidak menyetujui rancangan perda, dan mengajukan usul rancangan perda. Sebagai wujud dari pelaksanaan fungsi pembentukan perda tersebut, Komisi IV sebagai bagian dari AKD telah mengajukan usul dua rancangan perda yang telah tertuang dalam program pembentukan perda (propemperda), diantaranya rancangan peraturan daerah tentang pelindungan anak dan perempuan korban kekerasan, serta rancangan peraturan daerah tentang pelindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
“Kedua ranperda ini telah melalui beberapa tahapan pembahasan di internal Komisi IV selaku pengusul, konsultasi publik dengan mengundang seluruh stakeholder terkait, proses harmonisasi oleh Kanwil Kemenkumham NTB. Kedua ranperda ini juga telah disetujui dalam rapat paripurna untuk ditetapkan menjadi ranperda usul DPRD,” kata Lalu Ramdan.
Dikatakannya, sesuai dengan mekanisme pembahasan ranperda sebagaimana yang tertuang dalam tata tertib DPRD, pihaknya memberikan penjelasan atas substansi dari kedua ranperda tersebut. Untuk ranperda tentang pelindungan anak dan perempuan korban kekerasan, tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami kecenderungan yang semakin meningkat. Faktor pemicu, seperti ekonomi, sosial, budaya serta lingkungan sosial semakin kompleks seiring dengan pengaruh perkembangan teknologi. Perlu langkah secara nyata untuk memberikan perlindungan oleh segenap elemen warga negara sebagai kesatuan dari masyarakat, serta peran pemerintah daerah sebagai pengayom bagi warganya dengan berbagai program, guna melakukan pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Salah satu upaya untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dilakukan melalui pemberdayaan perempuan dan optimalisasi potensi yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga diharapkan mampu meningkatkan dan mengembangkan diri untuk berperan dan terlindungi dari potensi tindak kekerasan,” terang politisi Gerindra ini.
“Kondisi ini akan memperkuat bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan dengan tetap menjaga peran dan kodratnya sebagai seorang perempuan, untuk berperan dalam mendidik dan mendukung kesejahteraan dan kebahagiaan keluarganya. Upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak menjadi kewajiban bersama, baik itu orang tua, keluarga, masyarakat dan swasta secara holistik dan tidak terpisahkan satu sama lain,” sambungnya.
Pelayanan masyarakat merupakan garda terdepan pada saat terjadi potensi kekerasan terhadap anak. mekanisme upaya pencegahan kekerasan dan pelindungan anak korban kekerasan melibatkan multi sektor yang dikoordinasikan oleh pemerintah daerah. Upaya dimaksud dilakukan dengan arah memberikan rehabilitasi sosial bagi anak korban kekerasan, menyatukan kembali anak korban kekerasan dengan keluarga danl atau iingkungan, dan meningkatkan keberdayaan anak korban kekerasan.
Untuk mewujudkan pemberian upaya pelindungan perempuan dan anak korban kekerasan, serta untuk kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak korban kekerasan, maka perlu diatur dalam peraturan daerah. Sebab, kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di masyarakat, telah menimbulkan dampak luar biasa kepada korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi dan sosial hingga politik.
“Dampak kekerasan seksual semakin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak dan penyandang disabilitas,” tegasnya.
Kemudian ranperda tentang pelindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sejalan dengan telah ditetapkannya undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Menurutnya, semakin nyata adanya perubahan paradigm dalam memandang kecacatan/disabilitas dari pendekatan medical (kesehatan) dan charity (belas kasihan) yang cenderung hanya diperlakukan sebagai obyek layanan (sebagaimana stereotype terhadap penyandang disabilitas). Ini menjadi model pendekatan pemenuhan hak asasi dan melibatkan mereka sebagai subyek yang ikut merencanakan, melaksanakan, mengawasi sampai pada tahap mengevaluasi kebijakan dan program, serta regulasi yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan para penyandang disabilitas.
“Komisi IV bersama pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk tentunya para penyandang disabilitas melalui berbagai kebijakan dan program yang aplikasinya tersebar diberbagai OPD,” terangnya.
Pemerintah daerah berkewajiban untuk merealisasikan hak yang termuat dalam undangundang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas melalui ranperda tersebut. Hal ini akan mengintegrasikan berbagai ketentuan hukum untuk menjamin terselenggaranya partisipasi dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, yang meliputi aspek kehidupan bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, keagamaan, pendataan, wirausaha, politik dan hukum, olahraga, seni dan budaya, pelayanan sosial, pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi serta fasilitas publik.
“Ranperda ini juga merupakan implementasi hasil rapat dengar pendapat umum/hearing public para penyandang disabilitas bersama Komisi IV. Mereka akan menginisiasi pembentukan peraturan daerah yang akan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Loteng,” pungkasnya. (*)