LOMBOK TENGAH, MP – Puluhan warga Desa Mangkung dan Selong Belanak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) didampingi Koalisi Pejuang Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Kode HAM NTB), Rabu (10/03) mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Loteng. Kedatangan warga tersebut untuk meminta kejelasan terkait sengketa tanah permukiman warga yang masuk pada kawasan hutan. Pada kesempatan itu, warga diterima langsung anggota Komisi IV DPRD Loteng, Lalu Arif Rahman Hakim dan Majrun.
Pada hearing tersebut, Kepala Desa (Kades) Mangkung, Lalu Fahrul Rauzi menyampaikan, luas lahan kawasan hutan yang ada di Desa Mangkung sendiri mencapai 57 Hektare (Ha). Dimana, luas lahan tersebut telah ditempati warga sejak 1964 silam. Sehingga jika berdasarkan aturan yang ada, warga yang telah menempati kawasan hutan lebih dari 20 tahun, berhak mengusulkannya untuk dijadikan hak milik yang punya alas hak yang sah (sertifikat). “Warga mendiami kawasan ini sudah lebih dari 50 tahun. Jadi jika mengacu pada Perpres nomor 88 tahun 2017, warga boleh mengusulkan sertifikat,” jelasnya.
Namun dalam hal ini, ia menilai pihak-pihak terkait seperti Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Loteng terjadi miskomunikasi dalam menyelesaikan persoalan ini. Sehingga hal itulah yang mengakibatkan warga tidak bisa menerbitkan sertifikat. Oleh sebab itu, dengan adanya aksi ini, pihak terkait dan juga DPRD bisa segera mencarikan solusi untuk warga yang tinggal di kawasan hutan tersebut. “Atas persoalan ini, sekitar 250 KK terdampak di Desa Mangkung. Dan itu tersebar hampir di semua dusun yang ada,” ujarnya.
Disingggung adanya lima orang warga di kawasan hutan yang telah memiliki sertifikat dengan biaya Rp 10 juta per orang, ia menegaskan hal itu sesuai informasi yang ia terima dari warga. Dimana, sebelumnya warga mengusulkan secara kolektif melalui program PTSL, namun sertifikat tersebut tidak bisa diterbitkan. Sehingga, warga kemudian mendatangi pihak BPN Loteng untuk meminta bantuan agar bisa segera menerbitkan sertifikat tersebut. Akan tetapi, pihak BPN mengarahkan warga untuk meminta rekomendasi dari pihak Dinas Kehutanan. “Setelah mendapat rekomendasi dari Dinas Kehutanan, lima warga ini kemudian bisa menerbitkan sertifikat itu. Tapi mereka diminta menyerahkan dana sekitar Rp 10 juta per orang,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Kode HAM NTB, Ali Wardhana mengatakan, aksi hearing yang dilakukan tersebut untuk meminta kejelasan terkait kawasan hutan yang dijadikan permukiman oleh warga. Baik itu yang ada di Desa Mangkung dan Selong Belanak Kecamatan Praya Barat, Desa persiapan Pandan Tingang Kecamaan Praya Barat Daya serta Desa Pengembur Kecamatan Pujut. Dimana, luas keseluruhan lahan yang ada di empat desa tersebut mencapai 1.000 Ha. “Jumlah warga yang terdampak di empat desa ini sekitar 2.751 jiwa yang terdiri dari 500 KK. Jadi kami berharap ini menjadi perhatian serius pemerintah, baik itu Pemerintah Daerah (Pemda) Loteng maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB. Karena masih banyak warga yang tidak memiliki tempat tingal,” jelasnya.
Ditempat yang sama, Kepala BPN Loteng, Ir. HL. Suharli menegaskan, untuk menerbitkan sertifikat tanah tersebut tentu harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Artinya, kalau tanah itu masuk kawasan hutan tentu tidak boleh diterbitkan sertifikat. Jika pun boleh, tentu harus melalui tahapantahapan tertentu sesuai aturan, misalnya dikelurkan terlebih dahulu dari kawasan kehutanan. Sedangkan jika tanah itu masuk kawasan hutan lindung, maka terlebih dahulu masyarakat harus dicarikan lokasi untuk dipindahkan. “Jadi untuk saat ini, kalau belum melalui proses yang dituangkan pada Perpres itu, maka kita belum bisa menerbitkan sertifikat,” katanya.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi IV DPRD Loteng, Lalu Arif Rahman Hakim menyampaikan apresiasi atas apa yang disampaikan warga tersebut. Menurutnya, persoalan kewenangan tentang kawasan hutan sepenuhnya sudah diambil alih oleh pihak Provinsi NTB. Mengingat di Loteng tidak ada dinas yang menangani tentang kawasan hutan. “Kita juga pernah menangani persoalan ini pada tahun 2018 lalu.
Perpres sudah jelas mengatur tentang bagaimana upaya penyelesaian sengketa lahan di kawasan hutan. Jadi, jika ada persoalan seperti ini, nanti kami akan menghadirkan pihak kehutanan Provinsi NTB agar jelas duduk persoalannya,” ujarnya.
Disatu sisi, Majrun juga meminta kepada warga untuk membuatkan ijin garapan dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Nanti ijin tersebut selanjutnya bisa diusulkan ke Pemprov NTB. “Silahkan warga buat proposal untuk diajukan ke provinsi. Nanti kami di DPRD siap mengawalnya,” pungkasnya. (iw)