Ribuan Santri Gelar Upacara Hari Santri Nasional

LOMBOK TENGAH, MP – Pemerintah Daerah Lombok Tengah bersama ribuan santri menggelar Upacara Hari Santri Nasional 2019 di Halaman Kantor Bupati yang baru di Desa Puyung, Kecamatan Jonggat pada Selasa (22/10). Wakil Bupati Loteng, HL. Pathul Bahri, S.IP, bertindak selaku Inspektur Upacara. Apel dihadiri oleh Kepala OPD lingkup Kabupaten Loteng, Ketua DPRD Loteng, M. Tauhid, Kepala Kemenag Loteng, H. Jalalussayuthi, jajaran SKPD Loteng, beberapa pendiri Pondok pesantren, dan ribuan santri.

HL. Pathul Bahri yang bertindak sebagai Inspektur Upacara membacakan amanat Menteri Agama Republik Indonesia, M. Nur Kholis Setiawan yang isinya, Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri.

Disampaikan, penetapan tanggal 22 Oktober itu merujuk pada tercetusnya ‘Resolusi Jihad’ yang berisi fatwa kewajiban berjihad demi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Sejak Hari Santri ditetapkan pada tahun 2015, diselenggarakan peringatan setiap tahunnya dengan tema yang berbeda. Secara berurutan pada tahun 2016 mengusung tema “Dari Pesantren untuk Indonesia”. Tahun 2017  “Wajah Pesantren Wajah Indonesia”. Dan Tahun 2018 “Bersama Santri Damailah Negeri”

“Isu perdamaian diangkat berdasar fakta bahwa sejatinya pesantren adalah laboratorium perdamaian. Sebagai laboratorium perdamaian, pesantren merupakan tempat menyemai ajaran Islam rahmatanlilalamin, Islam ramah dan moderat dalam beragama. Sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat yang plural dan multikultural. Dengan cara seperti inilah keragaman dapat disikapi dengan bijak serta toleransi dan keadilan dapat terwujud. Semangat ajaran inilah yang dapat menginspirasi santri untuk berkontribusi merawat perdamaian dunia,” imbuhnya.

Dijelaskan, setidaknya ada sembilan alasan dan dasar mengapa pesantren layak disebut sebagai laboratorium perdamaian. Pertama, kesadaran harmoni beragama dan berbangsa. Kedua, metode mengaji dan mengkaji, karena para santri menggunakan metode bahsulmasail untuk mencari kekuatan hukum dengan cara meneliti dan mendiskusikan secara. Ketiga, para santri biasa diajarkan untuk khidmah (pengabdian) dan keempat pendidikan kemandirian, keija sama dan saling membantu di kalangan santri. Lantaran jauh dari keluarga, santri terbiasa hidup mandiri, memupuk solidaritas dan gotong-royong sesama para pejuang ilmu. Keempat, pendidikan kemandirian, kerjasama dan saling membantu di kalangan santri. Kelima, gerakan komunitas seperti kesenian dan sastra tumbuh subur di pesantren. Seni dan sastra sangat berpengaruh pada perilaku seseorang, sebab dapat mengekspresikan perilaku yang mengedepankan pesan-pesan keindahan, harmoni dan kedamaian.

Lebih jauh disampaikan, alasan keenam adalah lahirnya beragam kelompok diskusi dalam skala kecil maupun besar untuk membahas hal-hal remeh sampai yang serius. Ketujuh, merawat khazanah kearifan lokal. Relasi agama dan tradisi begitu kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pesantren menjadi ruang yang kondusif untuk menjaga lokalitas di tengah arus zaman yang semakin pragmatis dan materialistis. Prinsip maslahat (kepentingan umum) merupakan pegangan yang sudah tidak bisa ditawar lagi oleh kalangan pesantren. Tidak ada ceritanya orang-orang pesantren meresahkan dan menyesatkan masyarakat. Kedelapan, penanaman spiritual, Tidak hanya soal hukum Islam (fikih) yang didalami, banyak pesantren juga melatih para santrinya untuk tazkiyatunnafs, yaitu proses pembersihan hati. Ini biasanya dilakukan melalui amalan zikir dan puasa, sehingga akan melahirkan fikiran dan tindakan yang bersih dan benar. Makanya santri jauh dari pemberitaan tentang intoleransi, pemberontakan, apalagi terorisme.

Kemudian yang terakhir, kata Pathul, mendorong proses perdamaian dunia semakin kuat dan nyata, menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa, terutama kalangan santri Indonesia agar turut berperan aktif dan terdepan mengemban misi dan menyampaikan pesanpesan perdamaian di dunia intemasional.

“Dengan Undang-Undang ini negara hadir untuk memberikan rekognisi, afirmasi dan fasilitasi kepada pesantren dengan tetap menjaga kekhasan dan kemandiriannya. Dengan Undang-Undang ini pula tamatan pesantren memiliki hak yang sama dengan tamatan lembaga lainnya,” Tutup Pathul membacakan amanat Sekretaris Menteri Agama M. Nur Kholis Setiawan. (ces)